software untuk mengakses internet, plasa hosting, jasa pembuatan website iklan baris, spesifikasi komputer server
Saya Nisa dari Cilacap, Jawa Tengah, Umur saya 25th. Langsung saja, saya ingin menanyakan, bagaimana hukumnya menjalin hubungan akan tetapi terbentur permasalahan karena saya dan pasangan saya berbeda suku. Saya ingin bercerita sedikit, mengenai hal ini, karena saya masih terlalu awam dalam mengkaji ilmu-ilmu Islam.
Saya dan pasangan saya (Rijal), pertama kali dikenalkan oleh teman sekerjaan saya. Dari awal teman saya sudah berkata, “Mba, mau engga di kenalkan dengan laki-laki, dia ilmu agamanya bagus, rajin sholat, pokoknya dia laki-laki yang insya Allah baik, tapi dia punya sifat pemalu dan minderan. Dan maaf, dia termasuk orang yang tidak mampu. Saat ini dia memang sedang tidak kerja, tapi dia sedang ikut khursus bahasa Korea, karena dia ingin memperbaiki keuangan keluarganya dan insya Allah ingin mencari rejeki di sana. Bagaimana mba, apa mba mau di kenalkan dengan beliau?”. Awalnya, saya ragu, karena pasti keluarga saya akan mempermasalahkan ini. Tapi seiring berjalannya waktu, saya memantapkan hati untuk mengenal beliau bukan karena siapa dia, tapi karena agamanya.
Kemudian saya setuju untuk mengenal dia, perkenalan kami dimulai dari BBM. Kami tinggal di satu kota yang sama, yaitu di kota Cilacap. Setelah mengenal satu sama lain, ternyata dia termasuk orang yang suka bercanda. Dan pada akhirnya setelah 1,5 bulan kami kenal, teman kami mempertemukan kami di sekitar tempat kerja saya. Dan komunikasi kami berjalan sampai pada akhirnya, kami dipertemukan di pertemuan kedua sebulan kemudian. Pada pertemuan kedua, saya mengungkapkan kepada beliau bahwa saya punya keturunan orang Padang dari ibu saya, karena ibu saya orang Padang, sedangkan ayah saya adalah orang Jawa. Dan beliau pun tidak mempermasalahkan itu.
Komunikasi kami pernah diisi dengan kesalahpahaman, bercanda, saling mendukung aktivitas kami masing-masing. Dan selang 1 bulan dari pertemuan kita yang kedua, kami bertemu kembali, dan kita mulai terbuka untuk mengenal satu sama lain, terutama ingin mengetahui tentang keluarga kita masing-masing. Kami berdua sama-sama yatim. Dia anak ke 6 dari 12 bersaudara, dan saya anak ke 5 dari 5 bersaudara.
Setelah pertemuan kami yang ketiga, kami saling memantapkan untuk menjalin hubungan yang serius untuk membina keluarga. Selang beberapa minggu, beliau menyatakan ingin serius menjalin silaturahmi dengan saya dan keluarga. Akan tetapi dia masih merasa malu dan minder untuk bertemu dengan ibu saya, karena takut ditanyai mengenai pekerjaannya. Padahal dari awal saya mengenal beliau saya sudah bercerita tentang beliau ke ibu saya, jadi ibu saya sudah mengerti dan memahami akan posisi beliau. Ibu saya hanya ingin tahu, sosok laki-laki yang bagaimana yang sedang dekat dengan anaknya. Tapi beliau berfikiran bahwa, “sepertinya aku belum pantas untuk bertemu ibu kamu, jangan berfikiran negatif dulu, nanti akan ada waktunya aku akan menemui ibu kamu, aku malu, aku orang miskin dan belum punya pekerjaan.”
Sampai pada akhirya, ujian untuk ketenagaan kerja yang ke Korea pun berlangusng. Dan tiada henti di setiap doa saya, terselip doa untuk beliau. Sampai pada akhirnya, satu hari sebelum hasil pengumuman beliau mengabari saya, hari itu benar-benar membuat hati saya sedih. Beliau berkata, “Maafkan aku yang kurang peduli terhadapmu beberapa hari terakhir, aku mau menyampaikan sesuatu, tapi aku harus bilang karena pada akhirnya kamu akan tahu. Aku takut ketika, kita menjalin hubungan, dan aku sudah berangkat jauh meninggalkan kamu, kita menjalankan hubungan komunikasi jarak jauh, aku takut, kita sudah lama saling kenal dan dekat akan tetapi aku dan kamu tidak berjodoh.”
Lalu aku pun menjawab, “Apa kamu sayang aku? apa kamu mau serius ngejalin hubungan ini?”
dan dia pun menjawab, “Iya, insya Allah aku sayang kamu, dan insya Allah aku ingin hubungan ini jauh lebih serius. Akan tetapi bukan masalah ini saja, bahwa ibu dan keluarga kurang menyetujui hubungan kita.”
Aku bertanya, “Boleh aku tau apa alasannya?”
Beliau menjawab, “Ibu dan keluarga aku, kurang setuju, jika aku dapat orang Padang.”
Aku bertanya, “Kenapa? dan apa alasannya?”
Dia menjawab, “Entah apa yang ada di fikiran mereka, aku sudah menceritakan kamu seperti apa ke keluarga, aku benar-benar minta maaf atas sikap keluarga aku, rasanya aku sudah ingin pergi jauh saja, rasanya sudah tidak ingin tinggal di sini.”
Seiring berjalannya waktu, aku tetap mendukung dia, dan pada hari dimana pengumuman hasil ujian ke Korea itu keluar, aku masih berusaha untuk mendukung dia. Dan ternyata dia tidak lulus. Dia semakin terpuruk, karena hubungan kami tidak mendapat restu, ditambah beliau tidak lulus ujian ke Korea, kerja keras dia selama ini sia-sia, selama satu tahun dia tidak bekerja demi pekerjaan ini. Pada awalnya, aku merasa kenapa dia begitu takabur atas perkataan dia sebelumnya mengenai hubungan ini. Dan aku juga pernah bilang ke dia sebelumnya, bahwa apa pun hasilnya, kamu harus tetap sabar, mungkin ini jalan terbaik yang Allah kasih untuk kamu. Sekeras apapun kamu berusaha, seandainya Allah berkehendak lain, maka kamu tidak akan mendapatkannya, jadi pasrahkan dan ikhlaskan saja.
Dia merasa sangat terpuruk sampai ada niatan untuk bunuh diri, akan tetapi aku terus berusaha untuk menenangkan pikiran dan perasaan dia. Ini benar-benar cobaan di bulan puasa bagi saya dan dia. Aku terus mencari referensi mengenai apa salah menikah antara beda suku? Aku selalu berkata, “Bisakah keluarga kamu tidak menilai siapa kami berdasarkan dari mana kami berasal? Bolehkan aku mengenal keluarga kamu dan kamu mengenal keluarga aku, agar masing-masing di antara kita mengetahui seluk beluk keluarga kita bukan dari kata orang di luar sana? Apa salah aku dan keluarga aku?..”
Aku ingin sekali menunjukan kekeluarga dia, bahwa Insya Allah aku ingin membahagiakan dia. Aku ingin sekali menepis kabar tidak baik mengenai tidak semua orang Padang itu tabiatnya sama. Aku ingin sekali meyakinkan dia, dan dia juga bisa meyakinkan keluarganya. Tapi dia begitu takut, hal ini terjadi lagi, ketika sebelumnya dia dekat dengan orang sunda, dan sudah berusaha untuk meyakinkan keluarga akan tetapi sia-sia. Prinsip dia, “aku belum pernah membawa wanita ke rumah, kecuali aku mau nikah dengan wanita tersebut”. Aku tersadar, bahwa prinsip dia adalah salah, bagaimana keluarganya tahu siapa pasangannya, sifat sikapnya seperti apa, sedangkan untuk mengenalkan saja tidak mau.
Salahkah sikap saya terhadap dia? aku masih menjalin silahturahmi dengan dia, aku masih terus meminta pedapat dari orang-orang sekitar, dan teman yang mengalami hal yang sama dengan saya. Intinya adalah “Jika dia cinta kamu, dia akan mempertahankan kamu, dan berusaha untuk terus dan terus meyakinkan keluarganya”. Akan tetapi untuk kesekian kali, dia berkata “Bukankah restu orang tua adalah restu Allah? Biarlah aku sendiri sampai aku tidak tau kapan aku menikah, hanya bisa berharap jika Allah memberi umur panjang untuk aku.”
Dan saat ini beliau begitu menjauh dari saya, setiap saya tanya baik-baik, dia terkadang emosi, saya tidak tahu apa kah dia berharap supaya saya benci dia dengan sikap dia seperti itu. Sepertinya dia melakukan ini karena keadaan yang membuat kita seperti ini. Apa yang harus saya lakukan, ketika dibenci, saya tidak ingin membalas membenci, karena saya sayang dia. Sampai saat ini pun, setiap di ajak ketemu susah, karena dia sengaja membuat hubungan kita menajdi tidak baik. Saya hanya bisa berdoa, berharap diberi kesabaran, keikhlasan dalam menghadapi ini semua dan harus percaya kepada Allah. Salahkah, jika niat kita meluluhkan hati orang tua, apakah itu termasuk dosa durhaka terhadap orang tua? Apa yang harus saya lakukan? Saya berusaha menerima dia apa adanya, karena rezeki bisa dicari bersama, kebahagian bukanlah diukur oleh harta, tapi beliau selalu berkata jika dia tidak pantas untukku dan takut tidak bisa membahagiakan saya nantinya.
Saya benar-benar membutuhkan kritik dan saran, dari akhi dan ukhti wemuslimah, sekiranya akhi dan ukhti mau merespon surat dari saya. begitu besar harapan saya agar surat ini dibalas secepatnya.
Terima Kasih
Wassalamualaikum
JAWABAN
Wa’alaikum salam warahmatullah
Ukhti Nisa yang dirahmati Allah,
Kami berdoa agar Anda selalu dalam lindungan Allah dan bersabar dengan ujian dariNya. Siapa yang bersabar, Allah akan membersamainya dan memberikan pahala tanpa batas.
Dalam Islam, tidak ada larangan pernikahan beda suku. Memang ada pertimbangan orang memilih istri atau mertua memilih menantu berdasarkan harta, kedudukan dan kecantikan. Namun Rasulullah memberikan rambu-rambu, bahwa memilih istri yang baik itu berdasarkan agamanya. Jika seorang suami memilih istri atas dasar agamanya, insya Allah kehidupannya akan barakah dan ia akan beruntung karena istrinya adalah istri yang shalihah.
تُنْكَحُ المَرْأةُ لِأَرْبَعٍ: لمِالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَلِجَمَالِهَا، وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكْ
“Seorang perempuan dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, karena kedudukannya, karena kecantikannya, (atau) karena agamanya. Pilihlah yang beragama, maka kau akan beruntung”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Bahkan, menikahkan anak berdasarkan keturunan (termasuk suku) adalah kebiasaan jahiliyah seperti dikatakan oleh seorang tabi’in bernama Mubarak. “Dulu, orang-orang jahiliyah menikahkan putrinya atas dasar keturunan. Orang-orang Yahudi menikahkan putrinya atas dasar harta dan kekayaan. Orang-orang Nasrani menikahkan putrinya atas dasar ketampanan. Maka sudah selayaknya orang-orang Muslim menikahkan putrinya atas dasar agama.”
Lalu bagaimana jika orang tua tidak menyetujui pernikahan beda suku? Hal pertama yang perlu disadari adalah, ridha orang tua merupakan kunci ridha Allah.
رِضَا الرَّبِّ فِى رِضَا الْوَالِدِ وَسَخَطُ الرَّبِّ فِى سَخَطِ الْوَالِدِ
“Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua.” (HR. Tirmidzi; shahih)
Maka yang baik dan ideal, jika orang tua belum menyetujui pernikahan, hendaknya sang anak mendekati orang tua-nya, merayu dan meyakinkan mereka agar menyetujui. Sering kali, orang tua yang sebelumnya keberatan dengan pernikahan anaknya, akhirnya setuju setelah komunikasi intens anak dengan orang tuanya dan setelah orang tua melihat kesungguhan anak dan yakin dengan keputusannya.
Bagi anak perempuan, ridha orang tua adalah hal yang tak bisa ditawar. Sebab, orang tua (wali) menjadi rukun nikah. Seorang gadis tidak boleh menikah tanpa persetujuan atau restu orang tua (wali)-nya, kecuali jika orang tua (wali)-nya menolak pernikahan tanpa alasan yang dibenarkan syariat, baru diperbolehkan gadis tersebut memakai wali hakim. Tetapi persoalan ini tidak sesederhana itu.
Sedangkan bagi anak laki-laki, meskipun orang tua (wali) bukanlah rukun nikah, tetap saja menjadi pertimbangan besar dalam pernikahan. Sebab sejatinya pernikahan bukanlah menyatukan dua orang, tetapi menyatukan dua keluarga.
Dalam kasus Anda, solusi yang bisa ditempuh adalah calon suami Anda minta restu orang tuanya dengan lebih komunikatif dan mendekati orang tuanya. Anda bisa membantunya dengan doa. Sebab masalah hati adalah kekuasaan Allah. Allah yang maha membolak-balikkan hati, Allah yang menguasai hati. Maka Allah-lah satu-satunya yang kuasa mengubah hati orang tuanya.
Namun jika segala upaya telah dilakukan, segala ikhtiar telah ditempuh, dan pria yang Anda inginkan justru lari menjauh, sebaiknya Anda mengikhlaskannya. Mungkin Allah menunjukkan bahwa ia bukanlah jodoh Anda dan Allah akan mempertemukan Anda dengan jodoh yang lebih baik dan lebih kuat; lebih kuat posisinya dalam keluarga, lebih kuat komunikasinya, lebih kuat kedekatannya dengan orang tua dan lebih kuat menanggung tanggung jawab nantinya sebagai kepala keluarga.
Saran kami, jangan mencintai seseorang yang tidak bisa menikah dengan Anda. Sebab hal itu hanya akan mengeruhkan hati dan mengganggu kedamaian jiwa.
Yang juga perlu dipahami oleh setiap muslim dan muslimah, dalam Islam tidak ada yang namanya pacaran. Sebab mudharatnya banyak. Pacaran bisa menjadi sarana mendekati zina, sebab dalam pacaran kebanyakan aktifitasnya khalwat (berduaan), saling menyentuh bahkan saling memegang dan seterusnya. Pacaran juga membuat hati mencintai seseorang dengan cinta dan harapan yang besar, padahal belum tentu pacar tersebut menikah dengannya.
Dalam Islam, pernikahan cukup dengan ta’aruf atau nadhar. Jika seorang pria memiliki keinginan menikah dengan seorang wanita, maka ia datang kepada orang tua (wali)-nya menyatakan keinginannya. Bisa juga dengan perantaraan guru atau ustadz. Setelah itu pria dan wanita tersebut dipertemukan untuk dapat melihat wajahnya dan mengetahui latar belakangnya. Jika keduanya berketetapan hati untuk menikah, sang pria meng-khitbah (melamarnya) dan kemudian menikah. Bagaimana jika wanita yang berkeinginan menikah dengan seorang laki-laki? Hal itu juga pernah terjadi di zaman Rasulullah. Maka wanita tersebut menyampaikan kepada orang tua (wali)-nya, dan walinya tersebut yang meminta pria dimaksud apakah bersedia menikah dengannya.
Semoga jawaban singkat ini menjadi bagian dari solusi. Dan sekali lagi, bersabarlah atas ujian dari Allah. Ketika hambaNya lulus dari ujianNya, Dia akan menghadirkan akhir yang baik dan solusi terindah yang kadang tak pernah disangka-sangka. Wallahu a’lam bish shawab.
software untuk mengakses internet, plasa hosting, jasa pembuatan website iklan baris, spesifikasi komputer server
Sumber : webmuslimah.com
Sumber : webmuslimah.com